Social Icons

Pages

13 Februari 2014

PERCERAIAN DALAM ISLAM (DIVORCE)



Cerai adalah sebuah kata yang seharusnya paling dihindari dalam kamus sebuah rumah tangga. Cerai adalah awal dari sebuah petaka dan kesengsaraan, baik bagi pasangan itu atau bagi anak-anak. Cerai hanya akan mengakibatkan luka yang menganga. Cerai bukan jalan keluar tetapi suatu keterpaksaan yang tidak menambah apa-apa kecuali kehampaan.
Karena itu meski dengan alasan tertentu Islam membolehkan perceraian, namun harus selalu diingat bahwa cerai itu perbuatan halal yang dibenci Allah. Padahal kata halal seharusnya bermakna boleh, dan bila boleh seharusnya tidak ada resiko dibenci. Tapi disitulah uniknya cerai, halal namun dibenci.
ratnisetiani@blogspot.com
Cerai lebih sering terjadi karena kalap dan kalut sebab kacau pikiran dan kasat hati. Dalam suasana tenang, jarang terjadi kasus perceraian. Karena resiko pasca cerai pasti sudah terbayang. Dalam suasana hati tenang, seseorang akan berpikir seribu kali untuk bercerai dengan pasangannya. Tapi dalam suasana hati tegang dan lepas kontrol, kemungkinan itu bisa terjadi.
Karena itu konsep cerai di dalam Islam dibuat sedemikian rupa agar tidak mudah dilakukan. Salah satunya adalah dengan tidak memberikan hak menceraikan kepada kedua-duanya. Cukup salah satu saja. Karena bila keduanya punya hak yang sama secara mutlak, maka pastilah angka perceraian itu lebih tinggi lagi.

Dan karena sebuah rumah tangga itu dipimpin oleh laki-laki, dimana dia adalah pihak yang memiliki inisiatif pertama kali untuk membentuk rumah tangga, laki-laki yang datang kepada orang tua wanita untuk melamarnya dan menikahinya, juga laki-laki yang berkewajiban untuk membiayai rumah tangga itu, laki-laki pula yang bertanggung-jawab sepenuhnya atas makan, minum, pakaian, tempat tinggal, keamanan, kenyamanan, masa depan dan seluruhnya, juga laki-laki pula yang harus bertanggung-jawab atas semua perilaku anggota keluarga baik di dunia maupun di akhirat, maka menjadi sangat wajar bila hak menceraikan itu secara umum ada pada laki-laki.
Mengapa bukan wanita? Karena posisi wanita dalam ikatan rumah tangga adalah pihak yang dilamar, yang dibiayai, yang diberi makan minum, pakaian dan rumah, yang dilindungi, yang dilayani dan yang dijadikan sebagai ratu. Maka kedudukan wanita dalam sebuah rumah tangga sangat terhormat. Tetapi bukan berarti wanita tidak punya hak apa-apa. Tidak!!
Justru wanita punya hak sepenuhnya untuk menentukan nasib dirinya. Sejak pertama kali dilamar, seorang wanita berhak untuk mengatakan ya atau tidak atas lamaran itu. Kalau jawabannya iya, maka pernikahan bisa berlangusng. Tapi kalau jawabannya tidak, maka apa boleh buat, si laki-laki silahkan pergi saja. Ini menunjukkan bahwa seorang wanita itu independen dan merdeka menentukan nasibnya.
Dalam mahar, wanita berhak untuk meminta maskawin yang besar nilainya sesuai dengan keinginannya yang tentu saja harus dipenuhi oleh calon suami. Bila tidak sanggup, laki-laki harus siap menerima resiko pernikahan itu batal, karena tidak memenuhi syarat. Setelah diberikan, harta itu menjadi hak wanita sepenuhnya dan tidak bisa diganggu gugat oleh suami.
Dalam pengaturan keuangan rumah tangga, wanita berhak untuk meminta nafkah yang cukup dari suami, baik untuk makan, pakaian, rumah dan kebutuhan yang lain. Sementara itu wanita sama sekali tidak berkewajiban untuk menafkahi, jangankan wajib, sunnah saja pun tidak.
Wanita pun sangat berhak untuk tidak harus berbelanja kebutuhuan sehari-hari, memasak, mencuci, membersikan rumah dan sebagainya. Semua itu pada dasarnya bukan kewajiban istri tetapi sepenuhnya kewajiban suami. Bila istri memasak dan mengatur rumah tangga, ini merupakan ibadah dan bakti sosial yang sangat besar pahalanya disisi Allah. Sebuah sumbangan dan bantuan buat pihak suami yang harus disyukuri dan tidak cukup dengan berterima kasih. Bahkan wanita tidak berkewajiban untuk membiayai pendidikan anaknya karena itu adalah tanggungan suami.
Dalam kasus penganiayayan, seorang wanita punya hak yang kuat untuk mengadukan nasibnya kepada hakim atas perlakuan kasar dan sewenang-wenang dari suaminya. Suami tidak berhak untuk menghalangi langkah-langkah pengaduannya ini.
Dan dalam kondisi yang paling parah sekalipun, wanita punya hak untuk mengajukan gugatan cerai kepada suami yaitu dengan cara khulu'. Namun,untuk meng-khulu

Tidak ada komentar:

 
nothig