Cerai adalah sebuah kata yang
seharusnya paling dihindari dalam kamus sebuah rumah tangga. Cerai adalah
awal dari sebuah petaka dan kesengsaraan, baik bagi pasangan itu atau bagi
anak-anak. Cerai hanya akan mengakibatkan luka yang menganga. Cerai bukan
jalan keluar tetapi suatu keterpaksaan yang tidak menambah apa-apa kecuali
kehampaan.
Karena itu meski dengan alasan
tertentu Islam membolehkan perceraian, namun harus selalu diingat bahwa cerai
itu perbuatan halal yang dibenci Allah. Padahal kata halal seharusnya
bermakna boleh, dan bila boleh seharusnya tidak ada resiko dibenci. Tapi
disitulah uniknya cerai, halal namun dibenci.
 |
| ratnisetiani@blogspot.com |
Cerai lebih sering terjadi karena kalap
dan kalut sebab kacau pikiran dan kasat hati. Dalam suasana tenang, jarang
terjadi kasus perceraian. Karena resiko pasca cerai pasti sudah terbayang.
Dalam suasana hati tenang, seseorang akan berpikir seribu kali untuk bercerai
dengan pasangannya. Tapi dalam suasana hati tegang dan lepas kontrol,
kemungkinan itu bisa terjadi.
Karena itu konsep cerai di dalam
Islam dibuat sedemikian rupa agar tidak mudah dilakukan. Salah satunya adalah
dengan tidak memberikan hak menceraikan kepada kedua-duanya. Cukup salah satu
saja. Karena bila keduanya punya hak yang sama secara mutlak, maka pastilah
angka perceraian itu lebih tinggi lagi.
Dan karena sebuah rumah tangga itu
dipimpin oleh laki-laki, dimana dia adalah pihak yang memiliki inisiatif
pertama kali untuk membentuk rumah tangga, laki-laki yang datang kepada orang
tua wanita untuk melamarnya dan menikahinya, juga laki-laki yang berkewajiban
untuk membiayai rumah tangga itu, laki-laki pula yang bertanggung-jawab
sepenuhnya atas makan, minum, pakaian, tempat tinggal, keamanan, kenyamanan,
masa depan dan seluruhnya, juga laki-laki pula yang harus bertanggung-jawab
atas semua perilaku anggota keluarga baik di dunia maupun di akhirat, maka
menjadi sangat wajar bila hak menceraikan itu secara umum ada pada laki-laki.
Mengapa bukan wanita? Karena posisi
wanita dalam ikatan rumah tangga adalah pihak yang dilamar, yang dibiayai,
yang diberi makan minum, pakaian dan rumah, yang dilindungi, yang dilayani
dan yang dijadikan sebagai ratu. Maka kedudukan wanita dalam sebuah rumah
tangga sangat terhormat. Tetapi bukan berarti wanita tidak punya hak apa-apa.
Tidak!!
Justru wanita punya hak sepenuhnya
untuk menentukan nasib dirinya. Sejak pertama kali dilamar, seorang wanita
berhak untuk mengatakan ya atau tidak atas lamaran itu. Kalau jawabannya iya,
maka pernikahan bisa berlangusng. Tapi kalau jawabannya tidak, maka apa boleh
buat, si laki-laki silahkan pergi saja. Ini menunjukkan bahwa seorang wanita
itu independen dan merdeka menentukan nasibnya.
Dalam mahar, wanita berhak untuk
meminta maskawin yang besar nilainya sesuai dengan keinginannya yang tentu
saja harus dipenuhi oleh calon suami. Bila tidak sanggup, laki-laki harus
siap menerima resiko pernikahan itu batal, karena tidak memenuhi syarat.
Setelah diberikan, harta itu menjadi hak wanita sepenuhnya dan tidak bisa
diganggu gugat oleh suami.
Dalam pengaturan keuangan rumah
tangga, wanita berhak untuk meminta nafkah yang cukup dari suami, baik untuk
makan, pakaian, rumah dan kebutuhan yang lain. Sementara itu wanita sama
sekali tidak berkewajiban untuk menafkahi, jangankan wajib, sunnah saja pun
tidak.
Wanita pun sangat berhak untuk tidak
harus berbelanja kebutuhuan sehari-hari, memasak, mencuci, membersikan rumah
dan sebagainya. Semua itu pada dasarnya bukan kewajiban istri tetapi
sepenuhnya kewajiban suami. Bila istri memasak dan mengatur rumah tangga, ini
merupakan ibadah dan bakti sosial yang sangat besar pahalanya disisi Allah.
Sebuah sumbangan dan bantuan buat pihak suami yang harus disyukuri dan tidak
cukup dengan berterima kasih. Bahkan wanita tidak berkewajiban untuk
membiayai pendidikan anaknya karena itu adalah tanggungan suami.
Dalam kasus penganiayayan, seorang
wanita punya hak yang kuat untuk mengadukan nasibnya kepada hakim atas
perlakuan kasar dan sewenang-wenang dari suaminya. Suami tidak berhak untuk
menghalangi langkah-langkah pengaduannya ini.
Dan dalam kondisi yang paling parah
sekalipun, wanita punya hak untuk mengajukan gugatan cerai kepada suami yaitu
dengan cara khulu'. Namun,untuk meng-khulu
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar